Indonesia memang kaya akan budaya dan kearifan lokal masyarakat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Bentuk-bentuk kearifan lokal dapat berupa nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus yang berhubungan dengan aktivitas manusia. Beberapa bentuk kearifan lokal juga ikut berperan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Salah satunya yaitu kearifan lokal dalam bidang pertanian.
via istockphoto |
Ada banyak bentuk kearifan lokal dalam bidang pertanian yang bisa ditemui pada sejumlah wilayah di seluruh penjuru Nusantara. Sebagai tambahan wawasan kita, berikut ini beberapa contoh kearifan lokal dalam bidang pertanian yang ada di Indonesia.
1. Subak di Bali
Subak adalah suatu organisasi masyarakat adat yang mengelola irigasi untuk sistem pengairan. Subak memiliki karakteristik sosio-agraris-religius yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan ajaran Hindu Bali yang menekankan pada keseimbangan dan keharmonisan antar manusia, alam, dan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Sistem pengairan ramah lingkungan seperti ini juga terdapat di daerah lain seperti Dharma Tirta di Jawa Tengah, Mitracai di Jawa Barat, dan Tolai di Sulawesi Tengah.
2. Nyabuk Gunung
Nyabuk gunung dapat dikatakan memberi sabuk pada gunung. Pengertian nyabuk gunung pada dasarnya adalah sistem pertanian dengan membuat teras sawah mengikuti kontur gunung (contour planting). Sistem pertanian ini dilakukan di lahan pertanian atau perkebunan di lereng-lereng perkebunan. Wilayah yang menggunakan sistem nyabuk gunung contohnya adalah petani di lereng gunung Sindoro dan Sumbing. Di Jawa Barat juga terdapat sistem pertanian serupa yang disebut ngais gunung, sedangkan di Bali disebut sengkedan.
3. Pranoto Mongso
Pranoto mongso (penentuan musim) merupakan waktu musim yang digunakan oleh para petani sebagai patokan untuk mengolah pertanian. Pranoto mongso mengikuti tanda-tanda alam berdasarkan mongso (musim) dalam bercocok tanam. Petani akan memulai pertanian dengan menggunakan hitungan kalender Jawa dan melihat tanda-tanda alam. Oleh karena itu, tanah tidak jenuh dan memberi waktu kepada tanah untuk mengumpulkan unsur hara. Melalui perhitungan pranoto mongso, alam dapat menjaga keseimbangannya.
4. Tradisi Bondang di Asahan
Dalam bahasa Melayu, Bondang dapat berarti lahan. Bondang adalah kegiatan pertanian masyarakat desa Silo Lama di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Tradisi Bondang adalah suatu konsep pertanian yang bersandar pada kearifan lokal dimana petani diajarkan cara bertani tanpa menggunakan bahan-bahan kimia untuk pupuk maupun pestisida yang dapat mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan kerusakan lingkungan. Selain itu, para petani juga tidak tergoda untuk menggunakan kemajuan teknologi pertanian sehingga keseimbangan alam dan lingkungan betul-betul terjaga.
5. Tradisi Masyarakat Undau Mau di Kalimantan Barat
Kearifan lokal pada masyarakat Undau Mau tercermin dalam penataan ruang pemukiman, klasifikasi hutan, dan pemanfaatannya. Aturan adat pada masyarakat Undau Mau mengharuskan kegiatan membuka hutan (rimbo) harus seizin dari ketua adat. Keberadaan hutan bagi mereka adalah penopang kehidupan. Dalam mengolah lahan pertanian, masyarakat di sana mengenal sistem bera. Sistem ini ramah lingkungan karena lahan pertanian yang telah terpakai dibiarkan hingga mencapai kurang lebih 7-10 tahun. Hal ini bertujuan agar tanah menjadi subur kembali.
6. Mattudang-Tudangeng di Soppeng
Mattudang-Tudangeng adalah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Soppeng Sulawesi Selatan dalam sektor pertanian. Sebelum masuk musim tanam, masyarakat Soppeng akan menggelar acara Mattudang-Tudangeng (Musyawarah) untuk mempersiapkan segala sesuatu terkait budidaya yang akan dilakukan. Biasanya acara tersebut juga dirangkaikan dengan acara syukuran/hajatan lewat pembacaan kitab Barzanji atas hasil yang dicapai musim tanam sebelumnya. Bentuk dan model musyawarah, hajatan/syukuran di tiap daerah di Soppeng biasanya dibingkai sesuai budaya dan adat setempat.
7. Kebekolo di Ende, NTT
Lahan pertanian di NTT umumnya berada di wilayah bergunung dengan lereng >30% sehingga berisiko terhadap erosi dan longsor. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, masyarakat Ende memiliki kearifan lokal untuk menahan longsor yang disebut Kebekolo. Masyarakat Ende menyusun barisan kayu atau ranting yang disusun atau ditumpuk memotong lereng gunung. Tumpukan kayu/ranting ini berfungsi untuk menahan tanah yang tergerus aliran permukaan (erosi). Model konservasi ini juga dapat ditemukan di beberapa daerah lainnya di NTT seperti Blepeng di Sikka dan Brepe di Flores Timur.