Sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, minum arak (khamr) telah menjadi kegemaran dan keseharian bagi masyarakat Arab. Bagi orang Arab masa itu, minum khamr seakan sudah menjadi tradisi seperti halnya minum teh. Saat Islam datang, kebiasaan tersebut tetap saja sulit dihilangkan sehingga tidak heran jika syariat tentang pelarangan minum khamr pun turun secara bertahap.
ilustrasi via shutterstock |
Di antara para pecandu khamr tersebut, tersebutlah salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Mihjan ats-Tsaqafi. Meski dikenal gigih dalam memperjuangkan kejayaan Islam, Abu Mihjan tetap belum bisa untuk meninggalkan kebiasaan lamanya yaitu minum khamr. Akibat perbuatannya tersebut, ia pun sering mendapat hukuman cambuk. Meski begitu, ia mengulangi lagi perbuatannya itu karena memang sangat sulit baginya untuk meninggalkannya. Setiap kali kedapatan mabuk, ia pun dihukum cambuk, begitu seterusnya.
Hingga pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin Khattab, Abu Mihjan tetap saja belum bisa meninggalkan kecanduannya akan khamr. Sampai pada suatu ketika, meletuslah perang Al Qadisiyah dimana kaum Muslimin yang dipimpin sahabat Sa'ad bin Abi Waqash berperang melawan pasukan Persia. Tidak ketinggalan, Abu Mihjan pun turut andil dalam peperangan tersebut. Ia tampil gagah berani bahkan termasuk yang paling bersemangat dan banyak membunuh musuh.
Namun sayangnya, Abu Mihjan masih saja menyempatkan diri untuk meminum khamr yang sudah menjadi kegemarannya itu. Mengetahui hal itu, Sa'ad bin Abi Waqash pun memberikan hukuman penjara kepadanya serta melarangnya untuk ikut berjihad. Abu Mihjan merasa sedih dan berputus asa karena tidak bisa ikut berjihad memperjuangkan agamanya bersama kaum Muslimin lainnya. Denting suara pedang dan kecamuk perang hanya bisa ia dengar dari balik jeruji besi.
Hal ini pun diketahui oleh istri Sa'ad bin Abi Waqash yang bernama Salma. Abu Mihjan kemudian memohon kepada Salma untuk sudi membebaskannya agar ia bisa segera menyusul rekan-rekannya berjihad. Ia juga berjanji akan lekas kembali ke penjara jika selamat usai pertempuran. Sebaliknya jika ia mati syahid, maka memang itulah yang dia cita-citakan. Melihat kesungguhan Abu Mihjan, istri Sa'ad kemudian membebaskannya sembari meminjamkan kepadanya kuda milik Sa'ad dan senjata untuknya berjihad.
Dengan wajah tertutup kain, Abu Mihjan pun segera bergabung dengan kaum Muslimin lainnya untuk bertarung di medan laga. Dengan bergabungnya Abu Mihjan, pasukan Muslim yang awalnya sempat kerepotan seakan mendapat kekuatan baru dari prajurit misterius yang gagah berani. Semua pun bertanya-tanya siapakah sosok misterius yang gesit dan gagah berani itu. Namun Sa'ad bin Abi Waqash tampaknya mulai mengenali siapa sosok di balik wajah tertutup kain itu.
Sa'ad bin Abi Waqash berkata, "Seandainya aku tidak tahu bahwa Abu Mihjan ada di penjara, maka aku katakan orang itu pastilah Abu Mihjan. Seandainya aku tidak tahu di mana pula si Balqa (kuda milik Sa’ad), maka aku katakan kuda itu adalah Balqa". Benar saja, sosok tersebut memanglah Abu Mihjan ats-Tsaqafi.
Seusai perang yang dimenangkan oleh kaum Muslimin, Abu Mihjan segera memenuhi janjinya dan kembali ke penjara, bahkan dia sendiri yang memborgol kakinya. Sa'ad bin Abi Waqash kemudian mendatangi Abu Mihjan dan melepaskan borgol yang membelenggunya sambil berkata, "Kami tidak akan mencambukmu karena khamr selamanya".
Abu Mihjan kemudian menjawab: "Dan aku, Demi Allah, tidak akan lagi meminum khamr selamanya!". Sejak saat itulah, Abu Mihjan pun benar-benar meninggalkan kebiasaannya minum khamr untuk selamanya.
Demikianlah kisah Abu Mihjan ats-Tsaqafi, sosok sahabat Nabi yang berhenti jadi pecandu demi ikut berjuang dan berjihad dalam menegakkan syiarnya cahaya Islam. Semoga bermanfaat.