Pemilu 1955 merupakan pemilihan umum pertama di Indonesia sejak negeri ini memproklamirkan kemerdekaannya. Pemilu ini diselenggarakan pada masa Demokrasi Liberal, tepatnya saat Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956). Meski dilaksananakan dalam suasana keamanan kurang kondusif serta kondisi politik yang belum stabil, pemilu ini dapat berlangsung dengan baik. Bahkan pemilu 1955 sering dikatakan sebagai pemilu paling demokratis dengan tingkat partisipasif masyarakat paling tinggi yang ditandai dengan pelaksanaan yang aman, lancar, jujur dan adil.
|
partai-partai peserta pemilu 1955 via tirto.id |
Pemilu 1955 memiliki arti penting dalam sejarah penegakkan demokrasi di Indonesia. Penyelenggaraan pemilu sendiri merupakan kriteria utama sebuah sistem politik agar sebuah negara disebut negara demokrasi. Pemilu merupakan wahana partisipasi rakyat. Tiada demokrasi tanpa pertisipasi politik warga, sebab partisipasi adalah esensi demokrasi. Keterlibatan masyarakat dalam berpolitik merupakan ukuran demokrasi suatu negara.
Pemilu 1955 disiapkan dan diselenggarakan oleh tiga kabinet berbeda. Persiapannya dilakukan oleh Kabinet Wilopo, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo dan Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet Wilopo mempersiapkan rencana undang-undang dan mengesahkan undang-undang pemilu, kabinet Ali Sastroamidjojo melaksanakan pemilu sampai tahap kampanye, hingga kemudian digantikan Kabinet Burhanuddin Harahap yang melaksanakan tahapan selanjutnya yaitu hari H pencoblosan sampai pemilu selesai.
Pelaksanaan Pemilu
Pemilu 1955 berlangsung selama dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Sedangkan tahap kedua dilaksanakan tanggal 15 Desember untuk memilih anggota Konstituante. Pemilu 1955 memilih 257 anggota DPR dan 514 anggota konstituante (harusnya 520 anggota, namun Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak melakukan pemilihan). Peserta Pemilu saat itu berjumlah 29 partai politik (multipartai) dan individu juga turut serta.
Pijakan yuridis Pemilu 1955 adalah UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1954 tentang Penyelenggaraan UU Nomor 7 Tahun 1953, dan Undang-Undang Darurat RI Nomor 18 Tahun 1955 tentang Perubahan Jumlah Anggota Panitia Pemilihan Indonesia, Panitia Pemilihan dan Panitia Pemilihan Kabupaten.
Hasil pemilu 1955 memunculkan empat partai terkemuka yang meraih kursi terbanyak di DPR dan Konstituante. Keempat partai tersebut adalah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dominasi keempat partai tersebut tampak dari pertimbangan kursi di DPR yang terdiri dari 272 kursi dan Konstituante 520 kursi.
Adapun rinciannya yaitu: PNI meraih 60 kursi DPR/ 112 Konstituante, NU meraih 58 kursi DPR/ 91 Konstituante, Masyumi meraih 47 kursi DPR/ 119 Konstituante, dan PKI meraih 32 kursi DPR/80 Konstituante. Sementara partai-partai lain (dan individu untuk Konstituante) meraih 75 kursi DPR/ 118 Konstituante.
Budaya Antre Yang Patut Dicontoh
Pemilu 1955 memunculkan beberapa cerita menarik dalam pelaksanaanya, terutama saat pencoblosan di hari H-nya. Salah satu yang patut dipuji dan dicontoh dari pencoblosan pemilu 1955 ini adalah budaya antri yang benar-benar dipatuhi. Tidak peduli apapun jabatannya, termasuk Presiden Soekarno sendiri juga ikut antri saat menggunakan hak pilihnya.
Menurut Harian Trompet Masyarakat, Bung Karno menggunakan hak pilihnya di Kementrian Penerangan Jalan Merdeka Barat. TPS di tempat ini diikuti oleh 350 orang. Sebagai warga negara biasa, Bung Karno berdiri di urutan paling belakang. Suatu ketika panitia bertanya kepada para calon pemilih tersebut, "Apakah saudara-saudara berkeberatan bila Bung Karno didahulukan karena tugas-tugas beliau?". Maka mereka yang hadir pun menjawab, "Tidak". Ternyata tidak hanya Bung Karno yang harus antri, para pejabat negara lainnya pun harus antri selama mengikuti pencoblosan.
Harian Trompet Masyarakat melaporkan bahwa Perdana Menteri Burhanuddin Harahap yang menggunakan hak pilihnya di TPS Gedung Olahraga Ikada (kini Monas) harus antri selama satu setengah jam sebelum memasuki TPS. Begitu pula dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Mantan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang juga ikut antri saat menggunakan hak pilihnya.
Pemilu Paling Demokratis
Banyak kalangan sejarawan menilai bahwa pemilu 1955 ini sebagai pemilu yang demokratis dan ideal. Idealisme ini dibangun berdasarkan kebebasan dan pluralitas kontestan pemilu, netralitas birokrasi dan militer setidaknya dalam konsep, tidak terjadi kerusuhan atau bentrok massa, terwakilinya semua partai dalam badan penyelenggaraan pemilu, dan antusiasme pemilih. Beberapa catatan positif tersebut antara lain dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Tingkat partisipasi rakyat sangat besar (+90% dari semua warga punya hak pilih).
- Prosentase suara yang sah cukup signifikan (+80% dari suara yang masuk), padahal saat itu +70% penduduk Indonesia masih buta huruf.
- Pelaksanaannya berjalan secara aman, tertib, dan disiplin serta jauh dari unsur kecurangan dan kekerasan.