Pernah mengunjungi Candi Penataran di Jawa Timur?. Candi Penataran adalah sebuah kompleks candi bercorak Hindu yang terletak di utara kota Blitar, tepatnya di Desa Penataran, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Candi seluas 12.946 meter persegi ini diperkirakan dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kadiri sekitar tahun 1200 M dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415 M.
via liputan6.com |
Selain kompleks bangunan utama, ada juga sebuah situs petirtaan yang letaknya agak sedikit tersembunyi di ujung belakang kompleks. Kalau kita berkeliling kompleks menikmati candi utama, Candi Tanggal, situs Pendopo Teras, atau Bale Agung, lokasi ini sama sekali tidak terlihat. Untuk menjangkaunya kita harus melewati tangga yang menurun di sudut belakang. Itulah situs kolam air dengan dinding-dinding berelief. Situs ini dibangun pada tahun 1415 Masehi pada masa pemerintahan Raja Wikrama Wardhana bertahta di Majapahit.
Selain menikmati karya arsitektur masa lampau atau studi arkeologi, banyak juga pengunjung yang percaya bahwa dengan membasuh muka dengan air di kolam itu sambil mengajukan sebuah permohonan, pasti apa yang diinginkan bakal terkabul. Tidak sedikit pengunjung datang ke situs itu dengan memaksa petugas candi untuk masuk pada malam hari. Padahal menurut aturan, kompleks Penataran sudah harus tertutup. Karena itulah di situs itu banyak bertebaran batang hio (dupa) yang ditancapkan oleh pengunjung terdahulu di tepi kolam.
Berdasarkan pendapat arkeolog, kolam tersebut konon dibangun untuk mengambil air suci guna melengkapi ritual keagamaan pada masa itu. Namun ada juga yang berpendapat, kolam itu untuk raja bertapa kungkum, yakni bertapa dengan cara berendam diri dalam air kolam sambil melihat dan merenungi relief yang ada.
via cagarbudayajatim.com |
Ada tiga cerita utama yang tergambar dalam relief itu. Semuanya merupakan penggambaran dari cerita rakyat yang pasti hampir semua orang Indonesia pernah mendengarnya di masa kecil. Ini merupakan hal yang biasa dimana pengetahuan lokal seperti cerita rakyat yang diabadikan dalam relief candi-candi di Jawa yang notabene merupakan bangunan elite kerajaan.
Kisah Bangau, Kura-Kura, dan Serigala
Relief paling kiri berupa gambar burung bangau, kura-kura dan serigala. Pada suatu masa, hiduplah dua ekor kura-kura. Suatu ketika datanglah musim kemarau yang melanda negeri itu, tidak luput tempat kura-kura itu hidup juga dilanda kekeringan. Lalu kedua kura-kura itu meminta bantuan seekor bangau untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih basah. Sang bangau yang baik hati menyanggupi permintaan kura-kura itu. Kemudian bangau mengambil dengan paruhnya sebatang kayu, lalu memintanya kura-kura untuk menggigit masing-masing di kedua ujung bilah kayu itu. Itulah cara bangau agar bisa membawa dua penumpang itu terbang.
Dalam perjalanan menuju tempat basah itu, beberapa ekor serigala tertawa terpingkal-pingkal melihat peristiwa itu. Salah satu dari serigala melontarkan ejekan yang ditujukan pada dua ekor kura-kura yang bergelantungan di kedua ujung bilah kayu. “Mau pindah tempat saja kok mesti cari tumpangan, memangnya tidak bisa jalan sendiri?” Begitu kira-kira ejekan serigala.
Kura-kura yang mendengar ejekan itu tersinggung harga dirinya. Lalu kedua kura-kura itu hendak balas menghardik. Tetapi apa yang terjadi, baru hendak membuka mulut, jatuhlah keduanya karena tidak lagi berpegangan pada kayu. Mereka jatuh ke tanah, tempurungnya dan pecah. Akhirnya mereka mati menjadi santapan lezat gerombolan serigala.
Kisah Seekor Buaya, Banteng, dan Pelanduk
Relief kedua menggambarkan cerita dengan tokoh-tokohnya yaitu buaya, banteng (atau mungkin kerbau) dan pelanduk. Diceritakan ada seekor buaya yang tidak bisa bergerak karena terhimpit sebatang pohon yang roboh. Dia berteriak-berteriak minta tolong kepada siapa saja yang lewat, tetapi tidak digubrisnya. Melihat seekor banteng lewat, dia pun menangis mengibaiba meminta tolong untuk dibebaskan dari himpitan batang pohon itu. Banteng yang baik hati itu segera menolongnya. Tidak cuma menyingkirkan batang pohon, tetapi dengan rasa belas kasihan ia juga membawa si buaya ke habitatnya di sungai.
Bukannya berterima kasih sudah ditolong, buaya malah tergiur pada daging montok penolongnya. Buaya yang rakus dan tidak tahu berterima kasih itu lalu menggigit banteng. Kontan saja banteng berteriak kesakitan dan berteriak minta tolong karena ingin dijadikan menu makan siangnya. Buaya yang telah gelap mata tidak segera melepaskannya. Beruntung datang seekor pelanduk.
Bak seorang hakim Bao yang bijak mengambil keputusan, pelanduk diminta menengahi dan memvonis kedua hewan itu, layakkah buaya memakan banteng yang telah menolongnya. Kemudian pelanduk pun meminta kepada mereka untuk merekonstruksi kejadian sesungguhnya. Dengan senang hati, buaya mempersilakan dirinya ditimpa lagi dengan sebatang kayu besar. Setelah rekonstruksi selesai dijalani, buaya menyadari bahwa dirinya telah diakali oleh pelanduk, kini dia telah terhimpit kayu lagi dan meratapi ketololannya. Pelanduk dengan tenang mengajak pergi banteng yang kini sudah terbebas dari cengkeraman gigi buaya.
Kisah Pemburu, Kura-Kura, dan Pelanduk
Cerita yang ketiga tentang pemburu yang menangkap kura-kura. Ketika sang pemburu hendak menyembelih kura-kura hasil buruannya untuk dimasak, datanglah seekor pelanduk dan menghampiri sahabatnya, kura-kura. Dia hanya berjalan hilir mudik di depan pemburu yang siap menyembelih kura-kura. Pemburu yang melihat pelanduk hilir mudik di depannya langsung tergiur pada jenis santapan yang lebih lezat itu. Lalu pemburu itu melepas kura-kura dan mengejar pelanduk.
Pelanduk yang melihat dirinya dikejar segera melompat lari dengan kencang. Pemburu mengejarnya, tapi sayang ia tak berhasil menangkap. Sementara kura-kura yang telah dilepas segera melarikan diri entah kemana. Akhirnya pemburu pun hanya bisa menelan ludah karena ketamakannya sendiri dengan perutnya yang kelaparan.
Itulah tiga cerita rakyat setempat yang oleh raja Majapahit dipilih sebagai “teman” merenung saat menyendiri. Dengan membaca relief-relief itu, raja berharap dapat memperoleh kebijaksanaan.
Sayangnya, pengunjung kolam yang fanatik tidak membaca pesan dari relief-relief ini. Padahal sudah ratusan tahun yang lalu raja-raja Majapahit mengajarkan bahwa sikap bijak dan kekayaan hidup dapat diperoleh dengan menemukan makna yang terkandung dalam relief dan bukan lewat mencuci atau berendam di air kolam berumur 590 tahun sambil mulut komat-kamit meminta berkah dan rizki.
Dikutip dengan beberapa pengubahan dari Arya Wisanggeni Genthong, Kompas, 9 Nopember 2005