Perkembangan sastra di Indonesia memang telah banyak melahirkan para pujangga, penyair, dan sastrawan-sastrawan hebat dari semenjak negeri ini berdiri hingga saat ini. Bahkan dari rentang waktu mulai tahun '20-an hingga sekarang, sastra modern Indonesia terus berkembang seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika kehidupan masyarakatnya. Maka dari itu, para ahli kemudian menggolongkan sastrawan-sastrawan tersebut ke dalam beberapa angkatan.
Berikut ini merupakan pembagian angkatan-angkatan sastra Indonesia berdasarkan urutan waktunya.1. Angkatan ‘20-an atau Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra yang luhur pada Angkatan 20-an sering disebut sebagai karya sastra Angkatan Dua Puluhan atau Angkatan Balai Pustaka. Disebut Angkatan Dua Puluhan karena novel yang pertama kali terbit adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang diterbitkan tahun 1921.
Karya-karya yang lahir pada periode itu disebut pula Angkatan Balai Pustaka karena karya-karya tersebut banyak diterbitkan oleh penerbit Balai Pustaka. Peran Balai Pustaka dalam menghidupkan dan memajukan perkembangan sastra Indonesia memang sangat besar. Penerbitan pertamanya Azab dan Sengsara, kemudian berpuluh-puluh novel lain diterbitkan pula, termasuk buku-buku sastra daerah.
Selain disebut Angkatan Balai Pustaka, Angkatan ’20-an disebut pula Angkatan Sitti Nurbaya karena novel yang paling laris dan digemari masyarakat pada masa itu adalah novel Sitti Nurbaya karangan Marah Rusli.
Secara umum, karya-karya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka bertemakan masalah-masalah sosial seperti kesetiaan istri kepada suami atau orang tua, kepatuhan pada adat, pentingnya belajar, dan tentang kewajiban menghargai sesama.
2. Angkatan ‘30-an atau Angkatan Pujangga Baru
Istilah Angkatan Pujangga Baru untuk karya-karya yang lahir sekitar tahun ‘30 - ’40-an, diambil dari majalah Pujangga Baroe yang terbit pada tahun 1933. Majalah ini dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, serta Armijn Pane.
Angkatan Pujangga Baru disebut juga Angkatan Tiga Puluhan sebab angkatan ini lahir pada tahun ’30-an. Karya sastra yang lahir pada angkatan ini berbeda dengan karya sastra pada angkatan sebelumnya. Karya-karya pada periode ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak mempersoalkan tradisi sebagai tema sentralnya. Hal semacam itu timbul karena para pengarang sudah memiliki pandangan yang jauh lebih maju dan sudah mengenal budaya-budaya yang lebih modern. Di samping itu, semangat nasionalisme mereka sudah semakin tinggi sehingga isu-isu yang diangkat tidak lagi kental dengan warna kedaerahan.
3. Periode ‘45
Periode ’45 disebut juga Angkatan Chairil Anwar karena perjuangan Chairil Anwar sangat besar dalam melahirkan angkatan ’45 ini. Dia pula yang dianggap sebagal pelopor Angkatan ‘45. Angkatan ‘45 disebut juga Angkatan Kemerdekaan sebab dilahirkan pada tahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Karya-karya yang lahir pada masa Angkatan ’45 sangat berbeda dengan karya sastra masa sebelumnya. Adapun ciri-ciri karya sastra pada masa ini antara lain bebas, individualistis, universalitas, dan realistis.
Sikap hidup dan sikap dalam berkarya para pengarang dan sastrawan Angkatan ’45 sangat tegas. Mereka mengumumkan sikap hidup tersebut melalui majalah Siasat dalam rubrik “Gelanggang”. Sikap tersebut mereka beri nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang diumumkan tahun 1950 dalam majalah Siasat.
4. Angkatan ‘66
Nama Angkatan '66 dicetuskan oleh Hans Bague (H.B) Jassin melalui bukunya yang berjudul Angkatan ‘66. Angkatan ini lahir bersamaan dengan kondisi politik Indonesia yang tengah mengalami kekacauan akibat teror dan merajalelanya paham komunis. Pada saat itu, PKI hendak menguasai negara dan berusaha menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir pada periode ini lebih banyak yang berwarna protes terhadap keadaan sosial dan politik pemerintah pada masa itu.
Pengarang yang produktif pada masa ini antara lain Taufiq Ismail, Mansur Samin, dan Goenawan Mohammad. Karya-karya yang terbit di antaranya Pagar Kawat Berduri karya Toha Mochtar, Tirani (kumpulan puisi) karya Taufiq Ismail, Pariksit karya Goenawan Mohammad, dan sebagainya.
5. Angkatan ‘70-an
Sekitar tahun ‘70-an, muncul karya-karya sastra yang lan dari karya sebelumnya. Kebanyakan karya-karya itu tidak menekankan pada makna kata. Para kritikus sastra menggolongkan karya-karya tersebut ke dalam jenis sastra kontemporer (mutakhir). Kemunculan sastra semacam ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Ciri umum dari puisi Sutardji adalah diabaikannya unsur makna. Puisi Sutardji lebih menekankan permainan bunyi dan bentuk grafis. Kemutakhiran puisi-puisi Sutardji itu terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan pada tahun 1981.
Kemutakhiran puisi-puisi angkatan ‘70-an tampak pula pada puisi-puisi Leon Agusta dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Hukla (1979), Hamid Jabbar dalam Wajah Kita (1981), F. Rahardi dalam Catatan Sang Koruptor (1985), Rahim Qahhar dalam Blong, dan Ibrahim Sattah dalam Dandandik (1975).
Beberapa sastrawan lainnya pada angkatan ini adalah Umar Kayam, Ikranegara, Arifin C. Noer, Akhdiat K. Miharja, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo, H.B. Jassin, dan sebagainya.
Semangat avant-garde (melakukan pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman) dalam karya puisi sangat menonjol pada angkatan ini. Beragam aliran sastra pada masa ini pun berkembang, antara lain munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan sebagainya. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini.
Novel-novel yang terbit pada paruh pertama hingga pertengahan tahun 1970-an menampilkan serentetan gejala lokal yang melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini dapat ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, dan sebagainya.
6. Angkatan ‘80-an
Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern. Novel Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-Burung Manyar (1981), dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, adalah beberapa contoh novel yang berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.
Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980 ditandai pula dengan banyaknya roman percintaan karya sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut, misalnya Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan lainnya yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an antara lain Remy Sylado, Yudhistira Ardinugraha, Noorca Marendra Massardi, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi, dan sebagainya.
Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 yang tokoh utamanya selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an pun pada umumnya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
5. Angkatan ‘70-an
Sekitar tahun ‘70-an, muncul karya-karya sastra yang lan dari karya sebelumnya. Kebanyakan karya-karya itu tidak menekankan pada makna kata. Para kritikus sastra menggolongkan karya-karya tersebut ke dalam jenis sastra kontemporer (mutakhir). Kemunculan sastra semacam ini dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bachri. Ciri umum dari puisi Sutardji adalah diabaikannya unsur makna. Puisi Sutardji lebih menekankan permainan bunyi dan bentuk grafis. Kemutakhiran puisi-puisi Sutardji itu terkumpul dalam sebuah buku yang berjudul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan pada tahun 1981.
Kemutakhiran puisi-puisi angkatan ‘70-an tampak pula pada puisi-puisi Leon Agusta dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul Hukla (1979), Hamid Jabbar dalam Wajah Kita (1981), F. Rahardi dalam Catatan Sang Koruptor (1985), Rahim Qahhar dalam Blong, dan Ibrahim Sattah dalam Dandandik (1975).
Beberapa sastrawan lainnya pada angkatan ini adalah Umar Kayam, Ikranegara, Arifin C. Noer, Akhdiat K. Miharja, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Sapardi Djoko Damono, Satyagraha Hoerip Soeprobo, H.B. Jassin, dan sebagainya.
Semangat avant-garde (melakukan pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman) dalam karya puisi sangat menonjol pada angkatan ini. Beragam aliran sastra pada masa ini pun berkembang, antara lain munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan sebagainya. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini.
Novel-novel yang terbit pada paruh pertama hingga pertengahan tahun 1970-an menampilkan serentetan gejala lokal yang melukiskan tatanan sehari-hari, seperti keluarga, kepercayaan, ritual, dan kebiasaan sebuah komunitas. Hal ini dapat ditelusuri dalam novel Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan, Khotbah di Atas Bukit (1976), cerpen “Suluk Awang-Uwung” (1975), Makrifat Daun, Daun Makrifat (1977) karya Kuntowijoyo, dan sebagainya.
6. Angkatan ‘80-an
Memasuki dasawarsa pertama 1980-an, suara lokal dalam sastra Indonesia masih berkutat pada persoalan nilai tradisional dan modern. Novel Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, Burung-Burung Manyar (1981), dan Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa (1983) karya Y.B. Mangunwijaya, Bako (1983) karya Darman Moenir, Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, adalah beberapa contoh novel yang berkutat pada persoalan ritual, agama, dan kekerabatan.
Karya sastra Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980 ditandai pula dengan banyaknya roman percintaan karya sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut, misalnya Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan lainnya yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an antara lain Remy Sylado, Yudhistira Ardinugraha, Noorca Marendra Massardi, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi, dan sebagainya.
Mira W. dan Marga T. adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 yang tokoh utamanya selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an pun pada umumnya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Pada era ’80-an ini, tumbuh juga sastra yang beraliran pop remaja, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar membaca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih “berat”.
7. Angkatan Reformasi
Seiring jatuhnya kekuasaan pemerintahan Orde Baru, muncullah wacana tentang sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnva Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1996 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Acep Zamzam Noer juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
8. Angkatan 2000
Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, tetapi tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan 2000. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, esais, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000. Mereka yang termasuk di dalamnya sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda, Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990 - an seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Angkatan ini ditandai pula oleh karya-karya yang cenderung berani dan vulgar. Hal ini tampak pada karya-karya Ayu Utami dengan novelnya yang berjudul Saman. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, sebagai lanjutan dari Saman.
Sebagai counter atas maraknya karya-karya yang vulgar dan novel-novel teenlit yang mengadopsi begitu saja moral pergaulan yang serbabebas ala remaja Amerika, pada masa ini bermunculan pula fiksi-fiksi islami. Oleh karena itu, fiksi islami kemudian didefinisikan sebagai karya sastra fiksi yang ditulis dengan pendekatan islami, baik dalam mengeksplorasi tema (persoalan yang diangkat) maupun dalam mengemasnya ke dalam karya. Umumnya, bahasanya santun dan bersih dari citraan-citraan yang erotis dan vulgar.
Menariknya, aktivis gerakan fiksi islami didominasi oleh para penulis perempuan, seperti halnya fiksi sekuler yang juga didominasi oleh penulis perempuan. Dua kelompok mainstream sastra yang berbeda ‘ideologi’ itu seakan saling berebut pembaca dan pengaruh terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer.
Kehadiran sastra Islam sebenarnya tidak spontan. Sejak paruh terakhir dasawarsa 1990-an, khazanah sastra Indonesia sebenarnya sudah diramaikan oleh kehadiran fiksi islami. Fiksi bernapaskan Islam ini menawarkan semacam ‘wacana baru’ sebagai wacana sastra alternatif bagi masyarakat pecinta fiksi Indonesia kontemporer. Tradisi penulisan fiksi islami tersebut kemudian berkembang sangat marak, terutama sejak awal dasawarsa 2000-an. Banyak penulis ternama lahir dari fenomena fiksi Islami itu, seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Fahri Aziza, Pipiet Senja, dan Habiburrahman El Shirazi.