Skip to main content

Kisah Seorang Kyai dan Macan Pembawa Kayu

kyai dan macan alias harimau

Alkisah pada zaman dahulu, ada seorang kiyai mempunyai saudara laki-laki yang shalih. Setahun sekali, saudaranya itu selalu datang berkunjung untuk bersilaturrahim dengan kyai tersebut. Pada suatu hari, tibalah saatnya bagi saudara shalih itu untuk mengunjungi rumah sang kyai, saudaranya. Setelah sampai di depan rumah dan berucap salam, istri kyai menyambutnya sambil bertanya, "Siapakah saudara ini?"

Saudara kyai yang shalih itu menjawab, "Saya adalah saudara suamimu, hendak perlu bersilaturrahim dengannya".

Istri kyai itu kemudian menimpalinya, "Dia tidak ada di rumah. Dia pergi ke hutan sedang mencari kayu. Saya doakan semoga dia tidak akan kembali lagi". Tidak hanya itu saja, istri kyai tersebut juga masih mengucapkan kata-kata jelek lainnya tentang suaminya yang tidak pantas untuk diucapkan. 

Tidak berapa lama kemudian, sang kyai datang dari hutan dengan menggiring seekor macan yang menggendong kayu-kayunya. Setelah sampai di depan rumah, kayu-kayu itu pun diturunkan dari punggung si macan. Pak kyai kemudian melepas kepergian si macan untuk kembali ke hutan seraya berkata, "Pergilah engkau sekarang, mudah-mudahan Allah memberi keberkahan kepadamu". 

Melihat saudaranya telah menunggu di depan rumahnya, pak kyai pun mempersilahkannya untuk masuk. Keduanya saling melepaskan kangen dengan saling bertukar kabar mengenai kehidupan masing-masing. Kyai juga mendoakan agar kehidupan saudaranya itu selalu dalam keadaan selamat dan bahagia. Diajaknya pula saudaranya itu untuk makan bersama-sama di rumah kyai tersebut. 

Setelah mengobrol lama dan telah selesai urusannya, saudara yang shalih itu pun minta diri hendak pamit pulang. Dengan penuh keheranan, saudaranya itu juga menyampaikan rasa kagumnya terhadap kyai atas kesabarannya dalam menghadapi istrinya yang berakhlak buruk lagi kotor perkataannya. Maka pulanglah saudara shalih itu. 

Waktu terus berjalan hingga pada tahun berikutnya, saudaranya itu pun datang berkunjung lagi ke rumahnya. Sambil mengetuk pintu, saudara shalih itu mengucapkan salam kepada orang di rumah. Tidak lama kemudian istri kyai keluar menyambutnya sembari bertanya, "Siapakah saudara"? 

Saudara kyai yang shalih itu menjawab, "Saya saudara suamimu, hendak bertemu dengannya". Rupanya istri kyai yang menyambutnya itu bukan istri yang dahulu sehingga ia tidak mengetahui siapa dirinya. 

Istri kyai menyambut kedatangan saudara suaminya itu seraya berkata, "Selamat datang wahai saudaraku". Selanjutnya istri kyai itu memuji suaminya dan mendoakan kepadanya dan juga kepada saudaranya itu dengan harapan agar tetap diberi keselamatan dan senantiasa hidup diliputi kebahagiaan. Tidak lupa istri kyai juga mempersilahkan tamunya untuk duduk sambil menunggu kedatangan suaminya. 

Tidak lama kemudian, pak kyai pulang dari hutan dengan membawa seonggok kayu di punggungnya. Ia menggendong sendiri kayu-kayu tersebut tanpa ditemani macan yang dahulu membantu membawakannya. Setelah meletakkan kayu dan membersihkan diri, pak kyai mengajak saudaranya itu untuk makan bersama. 

Setelah bercengkerama panjang lebar, tamu (saudaranya) itu pun pamit hendak pulang. Namun sebelum pulang, saudaranya itu bertanya kepada kyai tentang caranya membawa kayu. Saudaranya itu heran mengapa kali ini dia tidak membawa macan untuk menggendong kayu-kayunya seperti dulu. Mendengar pertanyaan saudaranya itu, sang kyai kemudian menjawab:

"Ketahuilah saudaraku, istriku yang dulu sangat buruk perkataannya dan aku sabar menghadapinya. Maka Allah menundukkan seekor macan untukku. Macan yang dahulu membantuku adalah anugerah dari Allah atas kesabaranku terhadap kejelekkan akhlak isteri ku. Setelah istriku yang dahulu telah wafat, sekarang aku menikahi wanita shalihah ini dan aku merasa tenteram bersamanya. Oleh karenanya, Allah tidak lagi mengutus macan untuk membantuku. Maka sekarang aku harus membawa sendiri kayu-kayu itu di punggungku. Sebab aku telah beristri wanita shalihah ini". (kisah dinukil dari Syarh ′Uqud al Lujjain fi Bayaani Khuquuqi Az Zawjain karya Syaikh Nawawi al-Bantani)