via shutterstock |
Memiliki nama kecil Gusti Raden Mas Dorojatun, Sultan Hamengku Buwono IX lahir pada Sabtu 12 April 1912 di Kampung Sompilan, Jalan Ngasem 13 Yogyakarta dari pasangan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah. Hamengku Buwono IX memperoleh pendidikan di HIS di Yogyakarta, MULO di Semarang, dan AMS di Bandung. Pada tahun 1930 -an, Sang Sultan muda juga pernah merantau ke negeri kincir angin untuk menimba ilmu dengan kuliah di Universiteit Leiden, Belanda.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, keadaan perekonomian saat itu sangatlah buruk. Kas negara kosong, pertanian dan industri pun rusak berat akibat perang. Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda membuat perdagangan dengan luar negeri menjadi terhambat. Kekeringan dan kelangkaan bahan pangan terjadi di mana-mana, termasuk di wilayah Yogyakarta.
Sebagai Raja sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX tidak tinggal diam melihat sulitnya keadaan pada masa itu. Untuk menjamin agar roda pemerintahan RI tetap berjalan, Sultan Hamengku Buwono IX pun menyumbangkan kekayaannya sekitar enam juta Gulden, baik untuk membiayai pemerintahan atau memenuhi kebutuhan hidup para pemimpin dan para pegawai pemerintah lainnya.
Setelah berlangsungnya perundingan Renville pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali ke Indonesia untuk melakukan agresi miiternya yang ke - 2. Sasaran penyerbuan mereka adalah ibukota Yogyakarta. Selanjutnya pada tanggal 22 Desember 1948, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sutan Syahrir dan para pembesar lainnya ditangkap Belanda dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka.
Sementara Sultan Hamengku Buwono IX tidak ditangkap karena kedudukannya yang istimewa sehingga dikhawatirkan akan mempersulit keberadaan Belanda di Yogyakarta. Selain itu, Belanda pada waktu itu juga sudah mengakui Yogyakarta sebagai kerajaan dan menghormati kearifan setempat.
Meski begitu, Sultan menolak ketika Belanda mengajaknya untuk bekerja sama dengan mereka. Untuk itu, Sultan Hamengku Buwono IX menulis surat terbuka yang disebarluaskan ke seluruh wilayah Yogyakarta. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Sultan "meletakkan jabatan" sebagai Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengunduran diri Sultan ini kemudian juga diikuti oleh Sri Paku Alam di kadipaten Pakualaman. Hal ini bertujuan agar masalah keamanan di wilayah Yogyakarta menjadi beban tentara Belanda. Selain itu, langkah ini diambil agar Sultan tidak dapat diperalat untuk membantu musuh (Belanda).
Sementara itu, Sultan Hamengku Buwono IX secara diam-diam membantu perjuangan para pejuang RI dengan memberikan bantuan logistik kepada para pejuang, pejabat pemerintah RI, dan orang-orang Republiken. Bahkan di lingkungan keraton, Sultan juga menyediakan tempat perlindungan bagi kesatuan-kesatuan TNI.
Pada bulan Februari 1949, Sultan mencoba menghubungi Panglima Besar Sudirman lewat bantuan seorang kurir. Sultan meminta persetujuan Panglima Sudirman untuk melaksanakan serangan umum terhadap Belanda. Setelah mendapatkan persetujuannya, Sultan langsung menghubungi Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin serangan umum melawan Belanda di Yogyakarta. Serangan ini berhasil menguasai Yogyakarta selama sekitar enam jam. Kemenangan ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia masih terus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Pada akhirnya, sesuai dengan hasil perundingan Roem-Royen, maka pasukan Belanda harus ditarik dari daerah Yogyakarta. Pihak Belanda minta jaminan keamanan selama proses penarikan itu berlangsung. Untuk itu, Presiden Soekarno kemudian mengangkat Sri Sultan sebagai penanggung jawab keamanan dan tugas itu pun dilaksanakannya dengan baik.
Pada tanggal 27 Desember 1949 ketika di Belanda berlangsung penyerahan kedaulatan, maka di Istana Rijkswik (Istana Merdeka) Jakarta, juga terjadi terjadi penyerahan kedaulatan dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda kepada Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat). Sultan Hamengku Buwono IX kembali mendapatkan kepercayaan untuk menerima penyerahan kedaulatan itu sebagai wakil dari pemerintahan RIS.
Sepanjang hayatnya, Sultan Hamengku Buwono IX telah banyak mengabdikan dirinya demi kedaulatan bangsa dan negaranya. Selain ikut berjuang pada masa kemerdekaan, Sultan juga pernah mengemban amanah sebagai Menteri Negara dari era Kabinet Syahrir hingga Kabinet Hatta I (1946-1949), sebagai Menteri Pertahanan pada masa kabinet Hatta II hingga masa RIS (1949-1950), menjabat Wakil Perdana Menteri pada masa Kabinet Natsir (1950 - 1951), bahkan dipercaya menjabat sebagai Wakil Presiden RI yang kedua (1973-1978).
Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat di Washington DC, Amerika Serikat pada 2 Oktober 1988 pada usia 76 tahun. Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara, tokoh yang juga dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia ini dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasar SK Presiden Repulik Indonesia Nomor 053/TK/Tahun 1990.